Jumat, 15 April 2011

Sekolah Sampah


          "Bu, saya tadi makan bakso lho!" ucap seorang anak. Wahyu Katri Ambar Wulan Sari, pendiri sekolah di komunitas sampah Bantar Gebang itu tersenyum. Alangkah enaknya makan bakso hangat di pagi hari, pikirnya. Sari –demikian panggilan akrabnya- terperanjat tatkala anak itu melanjutkan kegirangannya, "Aku dapat bakso di Bulog."
          "Bulog" adalah sebutan para pemulung untuk gunungan sampah raksasa di Bantar Gebang. Artinya, anak murid yang dikasihinya telah makan bakso yang entah berapa hari mengendap di tumpukan sampah.
          "Mengajar disini banyak kejutannya, "ujar alumnus Universitas Brawijaya, Malang itu. Murid-murid lugunya dengan polos bercerita mendapat tangan, kaki, atau bagian tubuh manusia lainnya saat memulung.
          Kenapa tak dilaporkan ke pihak berwajib? Wanita kelahiran Madiun, 25 Maret 1970 ini berujar, "Kejadian itu terlalu sering, mereka sudah anggap biasa menemukan potongan tubuh korban mutilasi."
Jalan Terjal
          Sebetulnya sang suami, Karyanto Wibowo telah menyediakan rumah cukup nyaman buat Sari di Kemang, Bekasi. Anehnya, ibu dari Pradhipto Bagas Wicaksono dan Azriel Yoga Prakosa itu malah berkeliaran di TPA (tempat pembuangan akhir) Bantar Gebang. Awal 2007, Sari mulai mendatangi satu per satu bedeng pemulung menawarkan pendidikan.
          "Pertama kali datang, aku melalui jalan becek, licin, lumpur hitam dengan aksesoris belatung-belatung kecil. Honestly, perutku spontan mual dengan semua pemandangan itu. Tapi kutahan karena bila ingin melebur dalam dunia pemulung, aku harus seolah-olah terbiasa," ungkapnya.
          Apa yang diperolehnya dari aroma super busuk dari gunung-gunung sampah? Sari malah dicurigai, dimaki dan diusir. Dasar keras kepala, ia tak mau menyerah. Sari terus mendatangi bedeng pemulung membujuk anak-anak belajar, merayu ibu-ibu dan kaum bapaknya mengikuti pengajian.
            Dengan menyisihkan keuangan belanja keluarganya, Sari meminjam sebuah mushala tempat menyelenggarakan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) gratis. Letak mushala kecil itu amat strategis karena berada di tengah bedeng para pemulung, sehingga bisa juga didirikan Taman Pengajian Al-Quran (TPQ).
          Namun letaknya yang berdekatan dari gunungan sampah, membuat bau sangat busuk sampai ke tempat belajar. Kondisi kian berat di musim hujan, karena aliran air memboyong sampah, lumpur dan belatung memasuki mushala.
          Berulangkali guru bantu direkrut, selalu saja mereka kabur tak kuat bau sampah, belatung dan lalat hijau. Sari mengatasi masalah ini dengan merekrut guru dari warga setempat yang akrab dengan aroma sampah.
          Baru 2 bulan PAUD dan TPQ berjalan, sudah 4 nyawa anak didiknya melayang. Seorang anak terserang tetanus, satu lagi pecah empedu dan dua sisanya mengalami luka serius akibat terpeleset berebut sampah. Selanjutnya mata Sari makin sering berkaca-kaca karena silih berganti murid-muridnya mati di ganasnya sampah Bantar Gebang.
          Setahun kemudian, PAUD pindah ke rumah sewa yang saat hujan masih saja bocor. Untungnya tempat itu cukup lapang menampung 60 anak di kelompok belajar bernama Al-Falah tersebut.
          Karena murid terus bertambah, Sari kembali memindahkan tempat belajar ke sekolah sekolah baru. Meskipun berdiri di atas tanah sewa dan berdinding bambu, setidaknya mereka tak berjejalan lagi di mushala.
          Hanya saja, lagi-lagi jika hujan turun, celah-celah kecil di atap seng akan meneteskan air hingga ruang kelas banjir dan kerja bakti mutlak dilakukan sebelum belajar. Keadaan seperti itu bertahan sampai sekarang, tapi tak membuat kendor semangat
150 murid dan 10 orang guru.
          Atas berkat rahmat Allah dan kegigihan yang menakjubkan, tahun ajaran 2008–2009 Sari berhasil membuka sekolah kesetaraan untuk menampung anak-anak putus sekolah maupun alumni PAUD. Mereka belajar di level Paket A (setara SD), Paket B (setara SMP) dan Paket C (setara SMU).
          Sehingga alumni PAUD bisa mendapatkan ijazah resmi dari Departemen Pendidikan Nasional, dan tahun 2009 sekitar 12 siswa-siswi kejar paket A–C mengikuti Ujian Nasional resmi.
Airmata Guru
          Secara rutin Sari berkeliling gunungan sampah melakukan razia mencari murid yang bolos. Rupanya mereka asyik mengais-ngais sampah dengan tangan berlumuran lumpur dan belatung, serta peluh membasahi wajah.
          Sari susah payah membujuk mereka kembali bersekolah. Ia pun berusaha anak-anak sesering mungkin ada di sekolah, supaya terhindar dari kewajiban mengais sampah.
          Airmatanya jatuh melihat beberapa murid memamerkan kaki-kaki yang korengan, dirubung lalat karena luka tak terawat. Sari makin khawatir saat murid melaporkan kakinya bolong tertusuk jarum suntik bekas atau limbah medis.
          "Aku tak berani membayangkan jika jarum itu bekas pemakai narkoba atau orang-orang yang tercemar HIV," ucapnya getir.
          Di wilayah TPA Bantar Gebang yang penuh carut marut premanisme, Sari sungguh jengah karena tak henti-hentinya diperas dan difitnah yang berakar dari keserakahan manusia yang ingin selalu diberi. Entah berapa kali Sari didemo, diusir dan sekolahnya akan dibongkar gara-gara tak mau membagi jatah rupiah.
          Mereka pikir Sari pastilah kaya raya, sebab hanya orang berkelebihan harta yang mau berbagi untuk orang miskin. Padahal ia menyisihkan keuangan keluarga dari gaji suami yang karyawan swasta, serta bantuan tak tetap dari para sahabat yang bersimpati.
          Keyakinan pada Allah membuatnya tak pernah ciut dengan preman kampung atau preman berseragam. Sari pun merasa nyaman dikawal puteranya Bagas yang menjalani home schooling kelas 1 SMP, hingga bisa menyertai perjuangan bundanya.
Gelombang Dakwah
          Bukan hanya mendirikan sekolah, Sari juga membentengi akidah umat. Sari terperanjat memperoleh informasi di gunungan sampah juga terjadi pendangkalan akidah dengan pemanis bantuan sembako. Sari segera mendirikan TPQ di wilayah itu dan merayu ibu-ibu mengikuti pengajian.
          Berbagai halangan seperti mushala yang roboh atau nyaris hangus dilalap api serta ustad ustadzah yang kapok berceramah disana, tak membuatnya surut. "Alhamdulillah secara perlahan para ibu dan anak tidak tergiur lagi dengan iming-iming sembako. Mereka sudah rutin mengaji dan mengikuti majlis taklim," ungkapnya ceria.
          Atas perjuangannya, Sari mendapat penghargaan Gubernur Jawa Barat sebagai Tokoh Wanita Inspiratif Penggerak Pembangunan dalam rangka Hari Ibu ke 81 tahun 2009.
          Kini Sari telah mempersiapkan masa depan sekolah sampahnya. Dia mengirim sejumlah anak pemulung belajar di pesantren yang diharapkan menjadi kader masa depan. Ia pun mendirikan Yayasan Ummi Amanah guna memayungi sekolahnya dengan melibatkan banyak orang yang punya kepedulian. "Kalau saya mati, kelak ada yang meneruskan sekolah ini," harapnya bergetar.
          Kita pantas tersindir dengan perjuangan Sari, saat orang bertarung mencari hidup dia telah menemukan makna kehidupan. Ketika kita saling sikut sesama teman demi ego pribadi memperebutkan materi, Sari menemukan mutiara hidup dengan berjuang menegakkan kebenaran, melaksanakan tugas yang mestinya diemban negara. Maju terus Bu Guru! (Tulisan ini sudah pernah diterbitkan oleh majalah PARAS)
NB:
  1. Sepulang dari sekolah sampah, saya langsung minum vitamin C dosis tinggi demi mencegah sakit. Setibanya di rumah, seluruh pakaian yang saya pakai langsung direndam dan dicuci. Walaupun tidak jatuh sakit, sepulang dari sana saya pusing kepala dan agak demam. Pokoknya badan terasa tak enak! Subhanallah, mereka tiap hari di tumpukan sampah kok bisa kebal begitu?
  2. Kabar dari sahabat mengatakan Ibu Sari sempat mengalami sakit paru-paru. Mungkin disebabkan milyaran virus yang beredar di sekolahnya. Semoga Allah memberinya kesembuhan dan kesehatan untuk terus berjuang. 

1 komentar: